Pages

Minggu, 01 Mei 2011

Persepsi Pasien terhadap Kualitas Pelayanan dengan Citra Rumah Sakit Umum di Provinsi Aceh


Penulis: Fadli Syahputra, SKM

Dosen Metodologi Penelitian, Ilmu Kesehatan Masyarakat, K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja), dan Perundang-Undangan Kesehatan


  1. Pendahuluan
Aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia antara lain adalah kesehatan. Setiap orang melakukan berbagai cara untuk memperoleh kesehatan yang prima. Seseorang yang menderita sakit biasanya akan berusaha untuk mengatasi dan mengobati penyakit yang dideritanya hingga sembuh. Seseorang dalam mencapai kesembuhan yang diharapkannya terkadang membutuhkan bantuan dari pihak lain dalam hal ini adalah rumah sakit. Rumah sakit merupakan salah satu instansi yang berwenang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas. Keadaan ini membuat rumah sakit perlu memperhatikan kualitas pelayanan yang ditawarkan kepada konsumen dalam hal ini adalah pasien yang akan menggunakan jasa rumah sakit sehingga pasien merasakan kepuasan terhadap kualitas yang ditawarkan (Zahrotul, 2008).
Perkembangan rumah sakit di Indonesia terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Jika dahulu rumah sakit hanya didirikan oleh badan-badan keagamaan, sosial ataupun pemerintah (non- profit oriented), sekarang banyak didirikan oleh berbagai badan usaha swasta yang usahanya berorientasi pada laba (profit oriented). Rumah sakit merupakan unit usaha pelayanan kesehatan yang berfungsi sosial, namun harus dikelola secara profesional. Untuk memperoleh keunggulan daya saing dalam skala global, rumah sakit dituntut mampu menyajikan pelayanan yang berkualitas dengan harga yang wajar dan bersaing, hal ini bisa dikatakan bahwa kunci pokok untuk meningkatkan daya saing industri jasa pelayanan kesehatan adalah kualitas pelayanan. Dengan tujuan untuk tercapainya kepuasan pelanggan yang secara tidak langsung bisa menguatkan loyalitas pelanggan (Yuliana, 2009).
Perkembangan ini tercermin pada perubahan fungsi klasik rumah sakit yaitu pada awalnya rumah sakit hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien melalui rawat inap. Karena kemajuan ilmu pengetahuan khususnya teknologi kedokteran fungsi rumah sakit bertambah menjadi bersifat pemulihan (rehabilitatif). Keduanya dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif) (Muninjaya, 2004).
Rumah sakit pada dasarnya bertujuan memberikan kepuasan bagi pasiennya. Dalam konsep perspektif mutu total (Perspectif Total Quality) dikatakan bahwa pasien merupakan penilai terakhir dari kualitas, sehingga kualitas dapat dijadikan salah satu senjata untuk mempertahankan pasien di masa yang akan datang. Kualitas pelayanan sangat penting dalam meningkatkan kepuasan pasien dan dengan sendirinya akan menumbuhkan citra rumah sakit tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (Rusmawati,1998), hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas pelayanan di rumah sakit baik pelayanan keperawatan maupun pelayanan tenaga spesialis masih rendah. Kualitas pelayanan yang masih rendah ini berdampak pada pasien yang tidak mau menggunakan jasa rumah sakit untuk berobat apabila sakit (Zahrotul, 2008).
Upaya kesehatan di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih dirasakan kurang. Jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih belum memadai. Untuk rumah sakit terdapat sebanyak 1.215 RS, terdiri dari 420 RS milik pemerintah, 605 RS milik swasta, 78 RS milik BUMN dan 112 RS milik TNI & Polri, dengan jumlah seluruh tempat tidur sebanyak 130.214 buah. Penyebaran sarana dan prasarana kesehatan belum merata. Rasio sarana dan prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk di luar pulau Jawa lebih baik dibandingkan dengan di Pulau Jawa. Hanya saja keadaan transportasi di luar Pulau Jawa jauh lebih buruk dibandingkan dengan Pulau Jawa (Depkes RI, 2004).
Sementara itu berbagai sarana pelayanan yang dikelola oleh sektor lain di luar kesehatan, termasuk yang dikelola oleh TNI/POLRI dan BUMN, sekalipun telah memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan kesehatan, namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya merupakan bagian integral dari upaya kesehatan secara keseluruhan. Potensi pelayanan kesehatan swasta dan upaya kesehatan berbasis masyarakat yang semakin meningkat, belum didayagunakan sebagaimana mestinya. Sementara itu keterlibatan dinas kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat dan keterkaitannya dengan pelayanan rumah sakit sebagai sarana pelayanan rujukan masih dirasakan sangat kurang (Depkes RI, 2004). Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan dari berbagai aspek pelayanan seperti peningkatan kualitas fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas profesionalisme sumber daya manusia dan peningkatan kualitas manajemen rumah sakit. Pelayanan yang berkualitas harus dijaga dengan melakukan pengukuran secara terus menerus, agar diketahui kelemahan dan kekurangan dari jasa pelayanan yang diberikan, dan dibuat tindak lanjut sesuai dengan perioritas permasalahannya (Puspita, 2009).
Kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang, ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka. Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dengan cara memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan. Pada gilirannya kepuasan pelanggan dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada perusahaan yang memberikan kualitas yang memuaskan (Tjiptono, 2004).
Indikasi kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat tercermin dari persepsi pasien atas pelayanan kesehatan yang telah diterimanya. Persepsi pasien/pelanggan tentang kualitas pelayanan merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa atau pelayanan. Menurut Gummesson, persepsi pelanggan terhadap kualitas total akan mempengaruhi citra perusahaan dalam benak pelanggan (Tjiptono, 2004).
Citra merupakan seperangkat kepercayaan, daya ingat dan kesan-kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek. Sikap dan tindakan orang terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh citra objek tersebut, dalam hal ini objek yang dimaksud adalah kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Citra pelayanan kesehatan di Indonesia semakin menurun, hal ini terindikasi dengan tingginya minat masyarakat berobat ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Kecenderungan masyarakat berobat ke luar negeri secara umum disebabkan faktor kelengkapan fasilitas dan kualitas pelayanan yang diberikan telah memenuhi harapan pasien. Dalam Suara Karya On Line 22 Desember 2004, setiap tahun sekitar 5.000 pasien berobat ke luar negeri dan devisa yang dikeluarkan mencapai 400 juta dolar atau 3,6 triliun. Rata-rata pasien yang berobat ke Malaysia dan Singapura berasal dari Jakarta, Medan Riau dan Aceh. Citra pelayanan kesehatan yang buruk di Provinsi tersebut sudah menjadi sebuah brand mark. Permasalahan secara umum adalah kualitas pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit belum memenuhi standar dan harapan masyarakat (Puspita, 2009).
Masalah seperti itu sesungguhnya tidak megherankan. Sebabnya, dibanding dengan di Malaysia, jumlah tempat tidur rumah sakit di Indonesia masih terlalu sedikit. Di Malaysia, jumlah tempat tidur rumah sakit adalah 2,1 berbanding 1.000 (2,1 tempat tidur untuk setiap 1.000 orang), sementara di Indonesia adalah 0,6 berbanding 1.000. Dapat dimaklumi, kalau rumah sakit di Indonesia relatif lebih ”berjubel” dibandingkan dengan rumah sakit di Malaysia. Kenyataan seperti itu sudah membuat citra rumah sakit kita tertinggal. Kemudian dari salah satu pertimbangan orang-orang medan berobat ke Penang adalah bahwa kalau mereka berobat ke Penang, mereka sudah tahu berapa perkiraan biaya yang harus disediakan. Sebagian, kata mereka, memang lebih murah dibanding dengan di Medan (Sulastomo, 2007).
Saat ini di Provinsi Aceh pada tahun 2009, terdapat 47 jumlah Rumah Sakit dengan berbagai tipe/kelas dan kepemilikan/pengelolaan. Berdasarkan kepemilikan, Rumah Sakit di Provinsi Aceh dibagi dalam kategori Kepemilikan Pemprov Aceh, Depkes RI, Pemda, Swasta dan TNI/POLRI. Dari 47 Rumah Sakit yang ada di Provinsi Aceh, terdapat 11 Rumah Sakit di Kota Banda Aceh, 8 Rumah Sakit di Kota Lhokseumawe, 5 Rumah Sakit di Kota Langsa, 2 Rumah Sakit di Kota Sabang, 2 Rumah Sakit di Aceh Timur, dan 3 Rumah Sakit di Bireuen serta Kabupaten/Kota lainnya masing-masing memilki 1 Rumah Sakit. Dari 22 Rumah Sakit Umum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebanyak 10 RSU (45,45 %) mempunyai tingkat pemanfaatan yang ideal sedangkan 65% tingkat pemanfaatannya masih kurang dimana BOR antara 20 – < 60. RSU Jantho mempunyai BOR yang paling rendah (0,3%) dibandingkan RSU lainnya. Gambaran lamanya perawatan pada RSU di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam rata-rata cukup ideal antara 2 – 6 hari, frekuensi pemakaian tempat tidur (BTO) 47,8 kali per tahun, rata-rata tempat tidur tidak ditempati dari saat terisi ke saat terisi berikutnya (TOI) 9,4 hari dan angka kematian 48 jam setelah dirawat (NDR) 17,6 per 1000 penderita serta kematian umum (GDR) sebesar 38,7 per 1000 penderita (Dinkes Provinsi Aceh, 2009).
Tenaga kesehatan merupakan bagian terpenting didalam peningkatan pelayanan kesehatan di Provinsi NAD, kualitas menjadi faktor utama yang harus terus mendapatkan perhatian oleh pemerintah daerah dan pusat, peningkatan kualitas harus menjadi prioritas utama mengingat tenaga kesehatan saat ini belum sepenuhnya berpendidikan D-III serta S-1 sedangkan yang berpendidikan SPK serta sederajat minim terhadap pelatihan tehnis, hal ini agar mendapat perhatian serius dari semua pihak terutama dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, mengingat semakin besar tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Bila peningkatan kualitas dapat dijalankan secara bertahap maka peningkatan pelayanan kesehatan dapat dicapai sepenuhnya (Dinkes Prov. NAD, 2008).
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang tenaganya multi disiplin, sarat dengan dana, sarat dengan teknologi sehingga tidak menutup kemungkinan adanya konflik antar pihak yang berkepentingan, baik antara konsumen dengan pelayanan, maupun antara pemilik dengan pengelola atau pengelola dengan stafnya. Terkait dengan hal tersebut diperlukan seperangkat sistem manajemen yang mampu mengatur dan mengelola sumber daya secara efektifitas dan efesiensi, sehingga diharapkan pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan harapan masyarakat (Dinkes Prov. NAD, 2008).

  1. Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
a.        Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
b.   Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
c.        Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
d.    Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit (UU RI No. 44, tahun 2009).
Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan upaya kesehatan perorangan yang dilaksanakan selama 24 jam melalui pelayanan rawat inap, rawat jalan, gawat darurat/ rawat darurat dan pelayanan tindakan medik serta dapat sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan sarana penelitian. Rumah Sakit juga merupakan salah satu sarana kesehatan yang berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan rujukan dan upaya kesehatan penunjang (Dinkes Aceh, 2009).
Pembangunan di rumah sakit bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelaksanaan rujukan medik dan rujukan kesehatan secara terpadu serta meningkatkan dan memantapkan manajemen rumah sakit meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, penggerakan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan penilaian yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan. Dalam rangka meningkatkan mutu rumah sakit, penyelenggaraannya harus memperhatikan standar yang disesuaikan dengan kelas/ tipe rumah sakit yaitu: (Dinkes Prov. NAD, 2008).
1.      Standar Manajemen
Rumah sakit merupakan bagian dari jejaring pelayanan kesehatan untuk mencapai indikator kinerja kesehatan yang ditetapkan daerah. Oleh karena itu, rumah sakit harus mempunyai hubungan koordinatif, kooperatif dan fungsional dengan dinas kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.
2.      Standar Pelayanan
a.       Pelayanan medik spesialistik dan sub spesialistik :
-        Pelayanan medik spesialistik 4 dasar : Penyakit Dalam, Bedah, Kebidanan & Kandungan serta Kesehatan Anak.
-     Pelayanan medik spesialistik lainnya : Mata, Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT), Kulit dan Kelamin, Kesehatan Jiwa, Syaraf, Gigi dan Mulut, Jantung, Paru, Bedah Syaraf, Orthopedi.
-         Pelayanan medik sub spesialistik.
b.      Pelayanan medik umum yang tidak tetampung oleh pelayanan medik spesialistik yang ada.
c.      Pelayanan penunjang medik: Radiologi, Laboratorium, Anestesi, Gizi, Farmasi, Rehabilitasi medik.
d.      Pelayanan keperawatan.
e.       Pelayanan administrasi dan umum.
Di Indonesia dikenal tiga jenis Rumah Sakit sesuai dengan kepemilikan, jenis pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam Rumah Sakit, yaitu Rumah Sakit Pemerintah (Rumah Sakit Pusat, Rumah Sakit Provinsi, Rumah Sakit Kabupaten), Rumah Sakit BUMN/ABRI, dan Rumah Sakit Swasta yang menggunakan dana investasi dari sumber dalam negeri (PMDN) dan sumber luar negeri (PMA). Jenis Rumah Sakit yang kedua adalah Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Khusus (mata, paru, kusta, rehabilitasi, jantung, kangker dan sebagainya). Jenis Rumah Sakit yang ketiga adalah Rumah Sakit kelas A, kelas B (pendidikan dan non pendidikan), Rumah Sakit kelas C, dan Rumah Sakit kelas D (Kepmenkes No. 51 Menkes/SK/II/1979). Pemerintah sudah meningkatkan status semua Rumah Sakit menjadi kelas C (Muninjaya, 2004).
Kelas Rumah Sakit juga dibedakan berdasarkan jenis pelayanan yang tersedia. Pada RS kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas termasuk subspesialistik. RS kelas B mempunyai pelayanan minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik terdaftar. RS kelas C mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam, kebidanan, dan anak). Di RS kelas D hanya terdapat pelayanan medis dasar (Muninjaya, 2004).

  1. Persepsi Pasien
Pasien atau konsumen sendiri tidak dapat menilai mutu pelayanan yang diperoleh secara teknik medik, karenanya mereka akan menilai dari persepsi sosial mereka atas atribut-atribut pelayanan tersebut. Penilaian dari sudut pandang pasien yaitu realitas persepsi pasien tentang mutu pelayanan yang diterima dan tercapainya kepuasan pasien, sedang dari sudut manajemen adalah terciptanya pelayanan medik yang tepat atau wajar. Prsepsi pasien akan dipengaruhi oleh kepribadianya, budaya, pendidikan, kejadian sebelumnya yang mirip dengan keadaan ini, hal-hal positif dan negatif lainnya serta tingkatan umum yang sering dijumpai pada saat melakukan intervensi di lingkungan rumah sakit. Persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus kedalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh. Stimulus dapat berupa sesuatu yang ditangkap oleh alat indera, seperti produk, iklan, harga, pelayanan dan lain-lain (Wulandari, 2008).
Beberapa pengertian persepsi antara lain : (Trimurthy, 2008).
         1.     Persepsi menurut kamus umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai proses seseorang untuk mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya atau menerima langsung / tanggapan dari suatu resapan.
   2.  Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.
     3.       Persepsi merupakan suatu proses dimana individu melakukan pengorganisasian terhadap stimulus yang diterima kemudian dinterpretasikan, sehingga seseorang dapat menyadari dan mengerti tentang apa yang diterima dan hal ini dipengaruhi pula oleh pengalaman-pengalaman yang ada pada diri yang bersangkutan
          4.        Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menyimpulkan pesan.
    5.   Menurut Bimo Walgito, persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu.
Dengan demikian, persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada diluar maupun dalam diri individu (Trimurthy, 2008).
Pada umumnya manusia mempersepsikan suatu objek berdsarkan kaca matanya sendiri, yang diwarnai oleh nilai dan pengalamannya. Notoatmodjo (2003), mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati terhadap objek yang sama.
Persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan dipengaruhi oleh harapan terhadap pelayanan yang diinginkan. Harapan ini dibentuk oleh apa yang konsumen dengar dari konsumen lain dari mulut ke mulut, kebutuhan pasien, pengalaman masa lalu dan pengaruh komunikasi eksternal. Pelayanan yang diterima dari harapan yang ada mempengaruhi konsumen terhadap kualitas pelayanan (Puspita, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pelanggan:
a.           Kebutuhan dan keinginan.
b.        Pengalaman masa lalu dan dari teman.
c.   Komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga mempengaruhi persepsi pelanggan (Mubarak dan Chayatin, 2009).

  1. Kualitas Pelayanan Kesehatan
Dengan semakin kritisnya masyarakat saat ini terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya dan semakin ketatnya persaingan di era pasar bebas, menuntut banyak hal dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit yang harus dibenahi khususnya kualitas pelayanan (Puspita, 2009).
Goesth dan davis (1994), menyatakan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Definisi kualitas jasa atau kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono, 2004).
Kualitas pelayanan dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau pesepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan. Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka (Tjiptono, 2004).
Kualitas jasa merupakan bagian penting yang perlu mendapat perhatian dari organisasi penyedia jasa pelayanan kesehatan seperti RS dan Puskesmas. Penemasan kualitas jasa yang akan diproduksi harus menjadi salah satu strategi pemasaran RS atau Puskesmas yang akan menjual jasa pelayanan kepada pengguna jasanya (pasien dan keluarganya). Pihak manajemen RS/Puskesmas harus selalu berusaha agar produk jasa yang ditawarkan tetap dapat bertahan atau berkesinambungan sehingga dapat tetap merebut segmen pasar yang baru karena cerita dari mulut ke mulut oleh pelanggan yang puas. Keunggulan suatu produk jasa kesehatan akan sangat tergantung dari keunikan kualitas jasa yang diperlihatkan dan apakah sesuai dengan harapan atau keinginan pelanggan. Ada beberapa model yang dapat dipakai untuk menganalisis kualitas jasa yang terkait dengan kepuasan pelanggan, tergantung dari tujuan analisisnya, jenis lembaga yang menyediakan jasa, dan situasi pasar (Muninjaya, 2004).
Kepuasan pengguna jasa pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor: (Muninjaya, 2004).
   1.  Pemahaman pengguna jasa tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya. Dalam hal ini, aspek komunikasi memegang peranan penting karena pelayanan kesehatan adalah high personnel contact.
     2.  Empati (sikap peduli) yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan. Sikap ini akan menyentuh emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh pada tingkat kepatuhan pasien (complience).
        3.    Biaya (cost). Tingginya biaya pelayanan dapat dianggap sebagai sumber moral hazzard bagi pasien dan keluarganya. Sikap kurang peduli (ignorance) pasien dan keluarganya, ”yang penting sembuh” menyebabkan mereka menerima saja jenis perawatan dan teknologi kedokteran yang ditawarkan oleh petugas kesehatan. Akibatnya biaya perawatan menjadi mahal. Informasi terbatas yang dimiliki oleh pihak pasien dan keluarganya tentang perawatan yang diterima dapat menjadi sumber keluhan pasien. Sistem asuransi kesehatan akan dapat mengatasi masalah biaya kesehatan.
          4.        Penampilan fisik (kerapian) petugas, kondisi kebersihan dan kenyamanan ruangan (tangibility).
  5.   Jaminan keamanan yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan (assurance). Ketepatan jadwal pemeriksaan dan kunjungan dokter juga termasuk pada faktor ini.
          6.        Keandalan dan keterampilan (reliability) petugas kesehatan dalam memberikan perawatan.
          7.        Kecepatan petugas memberikan tanggapan terhadap keluhan pasien (responsiveness).
Salah satu pendapat yang sering digunakan adalah dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry yaitu: (Tjiptono, 2004).
1)   Keandalan (reliability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
2)  Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
3)     Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan.
4)      Empati (emphaty), meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan.
5)        Bukti fisik (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
Kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pasien walaupun merupakan nilai subyektif, tetapi tetap ada dasar obyektif yang dilandasi oleh pengalaman masa lalu, pendidikan, situasi psikis waktu pelayanan dan pengaruh lingkungan. Khususnya mengenai penilaian performance pemberi jasa pelayanan kesehatan terdapat dua elemen yang perlu diperhatikan yaitu teknis medis dan hubungan interpersonal. Hal ini meliputi penjelasan dan pemberian informasi kepada pasien tentang penyakitnya serta memutuskan bersama pasien tindakan yang akan dilakukan atas dirinya. Hubungan interpersonal ini berhubungan dengan pemberian informasi, empati, kejujuran, ketulusan hati kepekaan dan kepercayaan dengan memperhatikan privacy pasien (Trimurthy, 2008).

  1. Citra Rumah Sakit
Menurut Kotler (2003) citra adalah seperangkat kepercayaan, daya ingat dan kesan-kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek. Sikap dan tindakan orang terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh citra objek tersebut. Pengertian citra itu sendiri abstrak atau intangible, tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian, penerimaan, kesadaran dan pengertian, baik semacam tanda respek dan rasa hormat, dari publik sekeliling atau masyarakat luas terhadap perusahaan sebagai sebuah badan usaha ataupun terhadap personil (dipercaya, profesional dan dapat diandalkan dalam pemberian pelayanan yang baik), Terciptanya suatu citra perusahaan yang dimata khalayak atau publiknya akan banyak menguntungkan (Puspita, 2009).
Peran citra sangat mempengaruhi keberhasilan kegiatan suatu lembaga seperti rumah sakit. Citra perusahaan yang positif, akan membantu dalam era kondisi persaingan saat ini. Menurut Zeithaml (1996) citra perusahaan yang baik merupakan asset bagi kebanyakan perusahaan, karena citra dapat berdampak kepada persepsi atas kualitas, nilai dan kepuasan. Citra merupakan sebuah peran yang terpusat pada persepsi pelanggan akan kualitas jasa atau kualitas pelayanan. Citra merupakan hal yang penting bagi suatu perusahaan dan organisasi lainnya. Oleh karena itu penting sekali untuk mengelola citra dengan suatu cara yang tepat (Puspita, 2009).
Salah satu pandangan dari sisi pemilik rumah sakit bahwa rumah sakit yang dimilikinya haruslah dapat terus menerus menjaga dan meningkatkan citranya. Peningkatan citra rumah sakit dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan meningkatkan kemampuan atau kemajuan pelayanan, kemajuan kecanggihan peralatan dan sarana medis, menjaga kehandalan informasi dengan kecepatan memperoleh dan ketepatannya serta mampu memacu peningkatan daya saing antar rumah sakit (Wulandari, 2008).
Kegiatan utama pelayanan rumah sakit adalah penyelenggaraan jasa pelayanan medik, yang mencakup proses medik sampai menghasilkan outcome. Hal inilah yang nantinya akan dinilai oleh pasien sebagai citra dari rumah sakit tersebut. Citra atau kesan yang melekat pada suatu rumah sakit menjadi keuntungan bagi rumah sakit itu sendiri karena konsumen akan kembali ke rumah sakit itu tanpa adanya promosi dari rumah sakit tersebut (Wulandari, 2008).

  1. Faktor Persepsi Pasien terhadap Kualitas Pelayanan dengan Citra Rumah Sakit
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2009), bahwa persepsi pasien tentang kualitas pelayanan terhadap citra rumah sakit terdiri dari: (1) persepsi tentang dimensi kualitas teknis adalah tanggapan pasien terhadap apa yang bisa dilihat dan dirasakan langsung oleh responden, dengan indikator: Professionalism yaitu tanggapan pasien bahwa penyedia jasa pelayanan menjamin dalam mengatasi yang dihadapinya dengan terampil dan profesional, (2) persepsi tentang dimensi kualitas fungsional adalah tanggapan pasien terhadap bagaimana penyedia jasa memberikan pelayanan kepada pasien, dengan indikator:
a.    Reliability adalah tanggapan pasien mengenai keandalan petugas dalam memberikan pelayanan kepada responden;
b.  Attitudes adalah tanggapan pasien terhadap sikap yang ditujukkan petugas dalam memberikan pelayanan kepada responden;
c.         Accessibility adalah tanggapan pasien terhadap kemudahan mendapatkan pelayanan baik kemudahan menemui petugas, waktu kerja, menjangkau fasilitas dan lokasi pelayanan kesehatan;
d.        Service Recovery adalah tanggapan pasien bahwa petugas mampu mengatasi masalah-masalah atau kesalahan tertentu yang tidak diduga yang terjadi akibat dari tindakan pelayanan yang diberikan;
e.      Serviscape adalah tanggapan pasien terhadap kondisi fisik dan lingkungan penyedia jasa kesehatan baik fasilitas, peralatan dan penampilan petugas.

Profesionalisme
Professionalism dalam pelayanan kesehatan berkaitan dengan pengetahuan keahlian teknis dan pengalaman dalam memberikan pelayanan kesehatan. Setiap profesi menuntut adanya profesionalitas sesuai dengan bidangnya masing-masing. Profesionalitas tersebut dapat berupa keahlian, keterampilan, dan pengalaman dalam bidangnya. Seseorang akan dikatakan profesional dalam bidangnya jika ia telah mengerti dan memahami serta menjalankan dengan benar keterampilannya dalam bidang tersebut. Pelayanan di rumah sakit sangat dipengaruhi oleh para profesional yang ada di dalamnya. Rumah sakit harus memiliki sumber daya manusia yang profesional baik tenaga medis maupun non medis dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada pasien (Puspita, 2009).
Bagaimanapun melimpahnya sumber daya alam, tetapi apabila kualitas manusianya rendah, maka sumber daya alam tidak berarti bagi manusia. Sebaliknya, bila sumber daya alamnya langka atau tidak ada sama sekali, tetapi bila kualitas sumber daya manusianya tinggi, maka pembangunan bangsa akan berhasil. Sebagaimana di negara Jepang, Korea Selatan, dan Singapura di negara ini sumber daya alamnya minim, tetapi kualitas sumber daya manusianya tinggi, ternyata mereka lebih berkembang dibanding negara-negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah seperti negara timur tengah. Kualitas sumber daya manusia mencakup dua aspek, yaitu: aspek fisik dan nonfisik (kemampuan) (Mubarak dan Chayatin, 2009).
Professionalism merupakan salah satu kriteria penilaian kualitas jasa yang berpengaruh terhadap citra, dimana pelanggan menganggap bahwa pengetahuan dan keterampilan para karyawan pada suatu penyedia jasa sangat dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional (Puspita, 2009).
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan memadai, namun di sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berdampak pada beberapa hal di antaranya sebagai berikut: (Mubarak dan Chayatin, 2009).
a.         Dibutuhkan tenaga kesehatan profesional akibat pengetahuan dan peralatan yang lebih modern.
b.        Melambungnya biaya kesehatan.
c.         Meningkatnya biaya pelayanan kesehatan.

Jaminan
Jaminan (Assurance), adalah pengetahuan dan keramahan staf rumah sakit yang dapat menimbulkan kepercayaan dari pasien terhadap rumah sakit, meliputi hal-hal berikut ini: (Nurcaya, 2007).
(a)      Keandalan staf rumah sakit dalam memberikan pelayanan adalah penilaian pasien terhadap kemampuan staf rumah sakit dalam memberikan pelayanan.
(b)     Rasa aman yang diberikan pada saat mendapat pelayanan dari staf rumah sakit adalah penilaian pasien terhadap rasa aman yang diberikan staf rumah sakit dalam memberikan layanan.
(c)      Keramahan dan sopan santun staf rumah sakit dalam memberikan pelayanan adalah penilaian pasien terhadap kesabaran dan keramahan staf rumah sakit dalam memberikan layanan.
(d)     Dukungan dari lembaga kapada staf rumah sakit dalam melaksanakan tugasnya adalah penilaian pasien terhadap dukungan yang diberikan rumah sakit terhadap pelaksanaan tugas dari staf rumah sakit.
Assurance (Jaminan), meliputi kemampuan karyawan atas: pengetahuan terhadap produk/jasa secara tepat, kualitas keramah tamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan. Dimensi jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi: (Trimurthy, 2008).
a.         Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan.
b.        Kesopanan (courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian dan sikap para karyawan.
c.         Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan sebagainya.

Empati
Emphaty (Empati), yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya. Dimensi emphaty ini merupakan penggabungan dari dimensi: (Trimurthy, 2008).
a.         Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan.
b.        Komunikasi (Communication), merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan.
c.         Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Dimensi empati ini merupakan penggabungan dari dimensi akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan, komunikasi (Communication), merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan serta pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan (Trimurthy, 2008).

Daya Tanggap
Responsiveness (Daya Tanggap), yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi : kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan/pasien (Trimurthy, 2008).
Daya Tanggap (Responsiveness), adalah kemampuan pegawai untuk menanggapi dan melakukan sesuatu yang diinginkan dan dibutuhkan pasien meliputi hal-hal berikut ini (Nurcaya, 2007).
(a)      Kepastian rumah sakit dalam memberikan informasi waktu pelayanan adalah penilaian pasien terhadap kemampuan rumah sakit dalam memberikan informasi waktu pelayanan secara pasti.
(b)     Kemampuan staf rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang tepat dan cepat bagi pasien yang membutuhkan pelayanan adalah penilaian pasien terhadap kemampuan staf rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang tepat dan cepat.
(c)      Kesiapan staf rumah sakit untuk membantu pasien yang membutuhkan bantuannya adalah penilaian pasien terhadap kesiapan staf rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh pasien.
(d)     Kesediaan staf rumah sakit dalam menanggapi permintaan konsumen adalah penilaian pasien terhadap kesediaan dari staf rumah sakit dalam menanggapi permintaan dari pasien.
Salah satu dimensi mutu pelayanan adalah memberikan pelayanan dengan waktu yang tepat sesuai waktu yang dibutuhkan, sebagaimana tertera dalam standar pelayanan. Dalam memberikan pelayanan, petugas sebaiknya menggunakan waktu sebaik-baiknya yaitu tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat. Pemeriksaan atau pelayanan yang terlalu lama cenderung mengakibatkan pasien atau pelanggan yang dilayani bosan/jenuh dan menganggap bahwa petugas tidak profesional (terkesan lambat) serta akan mengakibatkan antrean yang panjang di loket pendaftaran atau loket pembayaran. Sementara petugas yang memberikan pelayanan terlalu cepat akan memberi kesan tidak teliti, asal-asalan, terburu-buru dan tidak profesional (Trimurthy, 2008).

Kehandalan
Keandalan (Reliability), adalah kemampuan staf rumah sakit untuk melaksanakan janji dengan terpercaya dan akurat meliputi hal-hal berikut (Nurcaya, 2007).
(a)      Kesesuaian pelayanan pada rumah sakit dengan pelayanan yang dijanjikan/diinformasikan adalah penilaian pasien terhadap kesesuaian atas pelayanan yang diberikan dengan yang diinformasikan.
(b)     Kepedulian rumah sakit dalam menangani pasien adalah penilaian pasien terhadap perhatian rumah sakit terhadap pasien.
(c)      Keandalan pelayanan yang diberikan rumah sakit adalah penilaian pasien terhadap kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan.
(d)     Kesesuaiam pelayanan rumah sakit dengan waktu yang diinformasikan adalah penilaian pasien terhadap ketepatan waktu dalam memberikan pelayananan.
(e)      Kemampuan rumah sakit dalam melakukan administrasi/pencatatan adalah penilaian pasien terhadap ketepatan staf rumah sakit dalam hal administrasi/pencatatan.
Proses awal dimulainya suatu pelayanan kesehatan adalah proses penerimaan. Kesan pertama yang diterima seorang pasien terhadap pelayanan kesehatan secara keseluruhan berawal disini, artinya pasien bisa menilai citra rumah sakit dari bagaimana proses penerimaan berlangsung dan dari sinilah penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan tersebut dimulai. Secara umum kebanyakan responden menganggap prosedur penerimaan pasien masih kurang baik, karena mereka masih harus antri dan menunggu lama pada saat proses pendaftaran. Tentunya situasi yang harus antri dan menunggu lama pada saat proses pendaftaran ini akan mempengaruhi persepsi dan keinginan mereka untuk tetap meneruskan pelayanan. Apabila proses yang tidak baik ini terus berlanjut pada pelayanan berikutnya, maka dapat dipastikan rumah sakit akan kehilangan pelanggan atau pasien nya (Puspita, 2009).

Tampilan Fisik
Bukti Langsung (Tangible), adalah penampilan fisik seperti bangunan fisik, kelengkapan fasilitas, kebersihan ruangan, dan penampilan pegawai di rumah sakit yang dapat dilihat langsung oleh pasien, meliputi: (Nurcaya, 2007).
(a)      Peralatan kedokteran yang dimiliki rumah sakit adalah penilaian pasien terhadap kelengkapan/peralatan yang dimiliki rumah sakit dilihat dari teknologi yang digunakan dalam melakukan pelayanan.
(b)     Penampilan fasilitas fisik (bangunan) rumah sakit adalah penilaian pasien terhadap tempat aktivitas sehari-hari bagi rumah sakit.
(c)      Penampilan staf dalam rumah sakit adalah penilaian pasien terhadap penampilan staf rumah sakit; dan
(d)     Kesesuaian peralatan yang dimiliki rumah dengan pelayanan yang diberikan adalah penilaian pasien terhadap kelengkapan/peralatan yang dimiliki rumah sakit dilihat dari fasilitas penunjang, alat-alat pendukung dan jasa implisit bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan.
Tangibles (Bukti Langsung), meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan (Trimurthy, 2008).
Serviscape merupakan kondisi fisik dan aspek lingkungan pada penyedia jasa yang akan mendukung proses dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Penilaian pelanggan ataupun pasien akan kualitas pelayanan pada industri jasa seperti rumah sakit sangat ditentukan oleh interaksi dari sumber daya manusia yang memberikan pelayanan dan juga interaksi dengan berbagai fasilitas fisik, teknologi, perlengkapan dan peralatan kerja, lingkungan sekitar, tata ruang, tata letak serta prosedur kerja yang ada (Puspita, 2009).
Suatu organisasi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit harus memiliki ruangan pelayanan dan kondisi lingkungan yang nyaman, teratur serta bersih agar bisa memberikan kepuasan pada pasien dalam membantu proses penyembuhan penyakitnya. Memberikan rasa nyaman pada pelanggan merupakan sesuatu yang penting dalam menciptakan kekuatan yang bisa mempengaruhi penilaian pelanggan. Pelanggan atau pasien sangat mengiginkan suasana yang mendukung dalam pemulihan kondisi penyakitnya. Jika suatu rumah sakit dapat memberikan suasana dan kondisi fasilitas yang nyaman, teratur dan bersih, tentunya ini akan membuat rumah sakit mempunyai daya tarik dalam menciptakan citra yang baik (Puspita, 2009).






Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan R.I., Sistem Kesehatan Nasional, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, Februari 2004.
Dinas Kesehatan Aceh, Profil Kesehatan Provinsi Aceh, Banda Aceh, 2009.
__________________, Profil Kesehatan Provinsi NAD Tahun 2008 data 2007, Banda Aceh, 2009.
Mubarak, Wahid Iqbal dan Chayatin, Nurul, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi, Salemba Medika, Jakarta, 2009.
Muninjaya, A. A. Gde, Manajemen Kesehatan Edisi 2, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004.
Notoatmodjo, S, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Nurcaya, I Nyoman, Analisis Kualitas Pelayanan Rumah Sakit di Provinsi Bali, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, 2007.
Puspita, Ika, Hubungan Persepsi Pasien tentang Kualitas Pelayanan dengan Citra          Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang, FKM USU, Medan, 2009.
Sulastomo, Manajemen Kesehatan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
Tjiptono, Fandy, Manajemen Jasa. Yogyakarta : Andi, 2004.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, Tentang Rumah Sakit, Presiden Republik Indonesia, Jakarta, Tanggal 28 Oktober 2009.
Trimurthy, IGA, Analisis Hubungan Persepsi Pasien tentang Mutu Pelayanan dengan Minat Pemanfaatan Ulang Pelayanan Rawat Jalan Puskesmas Pandanaran Kota Semarang, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2008.
Yuliana, Analisis Pengaruh Citra Rumah Sakit dan Kepuasan terhadap Loyalitas Pelanggan Study Kasus pada : RS. PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2009.
Zahrotul C. A, Nur Ana, Kepuasan Pasien Ditinjau dari Kualitas Pelayanan Perawat di Rumah Sakit TK. IV dr. M. Yasin Watampone, Skripsi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008.
Wulandari SR, Tri,  Hubungan antara Persepsi Citra Rumah Sakit dengan Tingkat Kecemasan Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta 2008.


By: Fadli Syahputra, SKM

Jumat, 29 April 2011

Revitalisasi Posyandu

A.        Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia sebagai potensi pembangunan bangsa agar dapat membangun dan menolong dirinya sendiri, merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, maka posyandu cukup strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sejak dini perlu ditingkatkan pembinaannya. Untuk meningkatkan pembinaan Posyandu sebagai pelayanan KB-Kesehatan yang dikelola untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan pelayanan teknis dari petugas perlu ditumbuh kembangkan perlu serta aktif masyarakat dalam wadah LKMD. Meningkatkan mutu pengelolaan Posyandu, perlu dimantapkan koordinasi dan keterpaduan pembinaan disemua tingkatan pemerintah (Sembiring, 2004).
Pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak-anak sejak usia dini, merupakan suatu strategi dalam upaya pemenuhan pelayanan dasar yang meliputi peningkatan derajat kesehatan dan gizi yang baik, lingkungan yang sehat dan aman, pengembangan psikososial/emosi, kemampuan berbahasa dan pengembangan kemampuan kognitif (daya pikir dan daya cipta) serta perlindungan anak terhadap penabaian. Pengalaman empirik dibeberapa tempat menunjukan, bahwa strategi pelayanan kesehatan dasar masyarakat dengan fokus pada ibu dan anak seperti itu, dapat dilakukan pada Posyandu. Karena Posyandu merupakan wadah peranserta masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh pelayanan kesehatan dasarnya, maka diharapkan pula strategi operasional pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak secara dini, dapat dilakukan di setiap posyandu (Depdagri RI, 2001).
Posyandu adalah salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. Meskipun posyandu bersumber daya masyarakat, pemerintah tetap ikut andil terutama dalam hal penyediaan bantuan teknis dan kebijakan. Kebijakan terkait posyandu terbaru adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah tertanggal 13 Juni 2001 tentang pedoman Umum Revitalisasi Posyandu. Salah satu indikator keberhasilan revitalisasi posyandu adalah meningkatnya status gizi anak sehingga jumlah anak yang berat badannya tidak naik semakin menurun. Kasus kurang gizi dan gizi buruk terkadang sulit ditemukan di masyarakat, salah satu penyebabnya adalah karena si ibu tidak membawa anaknya ke pusat pelayanan kesehatan. Akibatnya bermunculan berbagai kasus kesehatan masyarakat bermula dari kekurangan gizi yang terlambat terdeteksi pada banyak balita seperti diare, anemia pada anak, dan lain-lain di beberapa provinsi Indonesia. Kondisi ini juga ternyata melanda provinsi DKI Jakarta pada sekitar awal tahun 2005 (Kresno, 2008).
Posyandu merupakan tempat yang paling banyak dikunjungi untuk penimbangan balita yaitu sebesar 78,3%; balita yang ditimbang secara rutin (4 kali atau lebih), ditimbang 1-3 kali dan yang tidak pernah ditimbang berturut-turut adalah 45,4%, 29,1%, dan 25,5%. Sedangkan kegiatan di posyandu untuk pemberian suplemen gizi (47,6%), PMT (45,7%), pengobatan (41,2%) dan imunisasi (55,8%). Secara keseluruhan, cakupan imunisasi pada anak usia 12 – 23 bulan menurut jenisnya yang tertinggi sampai terendah adalah untuk BCG (86,9%), campak (81,6%), polio tiga kali (71,0%), DPT tiga kali (67,7%) dan terendah hepatitis B (62,8%) (Depkes RI, 2008).
Sejak krisis ekonomi berlangsung di Indonesia, sebagian besar Pos Pelayanan Terpadu (Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)) di daerah Jawa Tengah terutama di pedesaan tidak berfungsi secara optimal karena minimnya dana operasional. Bahkan, karena kebutuhan ekonomi yang mendesak sejumlah kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) terpaksa meninggalkan tugasnya untuk bekerja mencari nafkah. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, program revitalisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di daerah, terutama di pedesaan, sudah mendesak dalam upaya pembangunan kesehatan di tanah air. Karena pada dasarnya kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang utama sebagai ukuran kualitas hidup yang mendasar sekali dan yang harus dipenuhi oleh setiap orang, karena dengan kesehatan akan memungkinkan setiap orang untuk melakukan kegiatan dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup yang lain. Sejalan dengan hal tersebut maka kesehatan harus selalu diusahakan oleh setiap pribadi, keluarga dan masyarakat sehingga pada saatnya mereka dapat hidup layak dari sisi kesehatan. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembagunan khususnya dibidang kesehatan dalam kenyataan sering dihadapkan pada sejumlah kendala seperti pengetahuan, sikap, kesadaran, dan kebiasaan serta kemampuan keuangan dari masyarakat. Hal ini berarti menimbulkan terjadinya kesenjangan antara apa yang menjadi harapan dan kenyataan. Kesemuanya itu akan membawa pengaruh terhadap kesehatan masyarakat (Torik, 2005).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan adanya upaya-upaya yang nyata dan realistis. Salah satunya adalah melalui pembangunan di bidang kesehatan masyarakat dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada. Menyadari akan arti pentingnya peran aktif masyarakat dalam menunjang keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan diperlukan adanya agen-agen pembangunan yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembagunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan yang mempunyai peran besar salah satunya adalah peran Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) (Torik, 2005).
Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan utama program gizi masyarakat yang menitikberatkan pada upaya pencegahan dan peningkatan status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan anak di posyandu dilakukan oleh kader, namun karena masih kurangnya kemampuan kader dalam melakukan pemantauan, maka sering terjadi kesalahan dalam melakukan penilaian pertumbuhan anak. Kesalahan dalam menilai pertumbuhan anak akan menyebabkan kesalahan dalam melakukan klasifikasi status gizi dan kesalahan intervensi (penatalaksanaannya). Dalam melakukan tugasnya, kader harus dibekali dengan prinsip dasar dalam melakukan pemantauan pertumbuhan, sehingga perlu dilakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan bagi kader posyandu. Pada tahun 2007 pelatihan kader hanya dilakukan untuk 10 kabupaten/kota yaitu A.Besar, Pidie, A.Utara, A.Timur, A.Tenggara, Simeulue, Gayo Lues, Bener Meriah, Kota Langsa dan Kota Lhokseumawe. Jumlah kader posyandu yang dilatih adalah 2 orang dari 500 posyandu (Dinkes Provinsi NAD, 2008).
Dalam rangka revitalisasi posyandu untuk pengembangan surveilens gizi dan kesehatan, telah dilakukan survey cepat (Need Assessment) di Kabupaten Aceh Besar Provinsi naggroe Aceh Darussalam pada tahun 2005 bekerja sama dengan Plan Internasional dan Depkes RI. Wawancara ditujukan kepada aparat Desa, tokok masyarakat, kelompok kader, keluarga balita, dan sarana prasarana posyandu. Hasil wawancara dengan kelompok kader posyandu dengan jumlah sampel 50 orang dari 10 Kecamatan yang diteliti didapatkan alasan kader 32% sibuk dengan pekerjaan, 10% masih sekolah/kuliah, 10% hanya tugas sosial tanpa honor, 4% karena terpaksa, 4% jauh tempat tinggal (Nilawati, 2008).

B.               Pengertian dan Pedoman Revitalisasi Posyandu
Revitalisasi adalah upaya untuk menghidupkan kembali kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan, dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau seharusnya dimiliki oleh sebuah kota, baik dari segi sosio-kultural, sosial ekonomi, segi fisik alam lingkungan, sehingga diharapkan dapat peningkatan kualitas hidup dari penghuninya (Nilawati, 2008).
Dengan terjadinya krisis yang berkepanjangan, berdampak pula terhadap menurunnya kegiatan posyandu, untuk itu diperlukan upaya revitalisasi posyandu. Program revitalisasi posyandu mempunyai tujuan agar terjadi peningkatan fungsi dan kinerja posyandu, dengan kegiatan utama adalah; 1) pelatihan, untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas kader; 2) pelayanan, mencakup pelayanan lima program prioritas yang merupakan paket minimal dengan sasaran khusus balita dan ibu hamil serta menyusui dan; 3) penggerakan masyarakat. Upaya tersebut telah diawali melalui berbagai kegiatan seperti sosialisasi, pelatihan dan lokakarya revitalisasi posyandu sepanjang tahun 1999-2000 (Ridwan dkk, 2007).
Pedoman revitalisasi posyandu ditujukan bagi pemangku kepentingan (Stakeholder) dalam upaya penyelenggaraan revitalisasi posyandu yang meliputi masyarakat, petugas, kader, Pembina posyandu, pengelola posyandu, tokok masyarakat, tokoh adat, seluruh lintas sektor pemerintah, dan pihak terkait mencakup swasta, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi non pemerintah. Pedoman ini dapat memberikan petunjuk tentang penyelenggaraan revitalisasi posyandu (Depdagri RI, 2001).

C.           Tujuan Revitalisasi Posyandu
Tujuan umumnya yaitu meningkatkannya fungsi dan kinerja Posyandu agar dapat memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan,dan agar status gizi maupun derajat kesehatan ibu dan anak dapat dipertahankan dan atau ditingkatkan. Sedangkan tujuan khususnya: (Depdagri RI, 2001).
  1. Meningkatkan kualitas kemampuan dan ketrampilan kader Posyandu.
  2. Meningkatkan pengelolaan dalam pelayanan Posyandu.
  3. Meningkatkan pemenuhan kelengkapan sarana, alat, dan obat di Posyandu.
  4. Meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesinambungan kegiatan Posyandu.
  5. Meningkatkan fungsi pendampingan dan kualitas pembinaan Posyandu.

D.               Sasaran dan Prinsip Pelaksanaan Revitalisasi Posyandu
Posyandu yang tidak berfungsi, posyandu yang tidak memiliki bangunan, posyandu yang terbatas cakupan, jenis, waktu dan tenaga pelayananya, posyandu yang tidak dilengkapi alat-alat bantu pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan lainnya yang dibutuhkan masyarakat desa, posyandu yang tidak mendapat partisipasi atau peran serta masyarakat (Nilawati, 2008). Sasaran kegiatan Revitalisasi Posyandu ini pada dasarnya meliputi seluruh Posyandu dengan prioritas utama pada Posyandu Pratama dan Madya sesuai dengan kebutuhan (Depdagri RI, 2001).
Prinsip pelaksanaan revitalisasi, hahwa hakekat dilaksanakannya Revitalisasi Posyandu adalah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar dan peningkatan status gizi masyarakat, yang secara umum terpuruk sebagai akibat langsung maupun tidak langsung adanya krisis multi dimensi di Indonesia. Oleh karena itu untuk meningkatkan kemampuan setiap keluarga dalam memaksimalkan potensi pengembangan kualitas sumber daya manusia, diperlukan upaya Revitalisasi Posyandu sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat yang langsung dapat dimanfaatkan untuk melayani pemenuhan kebutuhan dasar pengembangan kualitas manusia dini, sekaligus merupakan salah satu komponen perwujudan kesejahteraan keluarga. Untuk melaksanakan Revitalisasi Posyandu perlu dihimpun seluruh kegiatan masyarakat agar berperan serta secara aktif sesuai dengan kemampuannya, baik sebagai pelaksana maupun sebagai pembina dilingkungannya masing-masing, sehingga cakupan sasaran kelompok masyarakat yang membutuhkan pelayanan Posyandu pada hari buka dan kunjungan rumah dapat mencapai hasil yang setinggi-tingginya (Depdagri RI, 2001). Dengan prinsip pelaksanaan revitalisasi adalah:
a.         Partisipasi; Revitalisasi posyandu melibatkan peran serta seluruh komponen dalam masyarakat, pemerintah dan organisasi non pemerintah, LSM, swasta dan dunia usaha.
b.        Efesiensi (Hemat); Revitalisasi posyandu diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang tersedia dari masyarakat secara terorganisir dan ekonomis.
c.         Efektif (Berdaya guna dan berhasil guna); Revitalisasi posyandu diupayakan untuk dapat mencapai tujuan dan memberikan manfaat kepada seluruh komponen masyarakat.
d.        Transparan (Terang untuk dilihat); Revitalisasi posyandu merupakan proses yang bisa diketahui oleh semua pihak.
e.         Terbuka (Bisa dimasuki); Revitalisasi posyandu memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk berperan sepanjang memenuhi ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan.
f.         Adil; Revitalisasi posyandu memberikan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang mengambil bagian atau berperan.
g.        Dapat dipertanggungjawabkan; Dalam pelaksanaan kegiatan revitalisasi posyandu dana yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh komponen masyarakat dengan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya (Nilawati, 2008).

E.               Strategi Revitalisasi Posyandu
Strategi yang perlu ditempuh dalam rangka mencapai tujuan Revitalisasi Posyandu, adalah : (Depdagri RI, 2001).
a.         Meningkatkan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan teknis, serta dedikasi kader di Posyandu.
b.        Memperluas system Posyandu dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan di hari buka dan kunjungan rumah.
c.         Menciptakan iklim kondusif untuk pelayanan dengan pemenuhan sarana dan prasarana kerja Posyandu.
d.        Meningkatkan peran serta masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaran dan pembiayaan kegiatan Posyandu.
e.         Menyediakan system pilihan jenis dalam pelayanan (paket minimal dan tambahan) sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat.
f.         Menggunakan azas kecukupan dan urgensi dalam penetapan sasaran pelayanan dengan perhatian khusus pada Baduta untuk mencapai cakupan keseluruhan.
g.        Memperkuat dukungan pembinaan dan pendampingan tehnis dari tenaga professional dan tokoh masyarakat, termasuk unsure LSM.

F.           Pedoman Penyelenggaraan Revitalisasi Posyandu
Revitalisasi posyandu dapat dicapai dengan memenuhi standar yang telah ditetapkan sebagai berikut : (Nilawati, 2008).
a.         Prasarana, adanya tanah dan bangunan.
b.        Sarana, adanya ruangan, alat-alat kerja, tenaga, penyediaan tenaga dilakukan dengan mengacu pada tugas dan fungsi masing-masing yang ditetapkan yaitu: tenaga kesehatan puskesmas kader Pembina posyandu pengelola posyandu, dan petugas lainnya. Disamping yang tersebut diatas juga kegiatan sangat penting dalam optimalisasi revitalisasi posyandu seperti: kegiatan pelayanan pada hari buka dan hari tidak buka, hal ini merupakan kelanjutan kegiatan di dalam posyandu yaitu: program kegiatan kesehatan dan gizi seperti layanan kunjungan rumah, penggalangan partisipasi masyarakat, peningkatan kemampuan dan pembinaan posyandu, penerapan system kewaspadaan pangan dan gizi
Dalam melaksanakan strategi yang diterapkan perlu dilakukan kegiatan yang langsung maupun tidak langsung, sehingga dapat meningkatkan funsi dan kinerja posyandu yaitu: pelatihan-pelatihan kepada kader posyandu, meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan melalui kegiatan pelayanan pada hari buka posyandu dan kunjungan rumah, menigkatkan peran serta masyarakat dan membangun kemitraan, optimalisasi kegiatan posyandu, pelayanan menggunakan sistem kafetaria, memberikan perhatian khusus pada kelompok sasaran berdasarkan azas kecukupan (terutama pada Baduta), memperkuat dukungan pendampingan dan pembinaan oleh tenaga professonal dan tokoh masyarakat (Nilawati, 2008).

G.           Indikator Kemajuan Revitalisasi Posyandu
Kemajuan kegiatan Revitalisasi Posyandu dapat diukur dari aspek input/asupan, proses, luaran (output), dan dampak (out come) sebagai berikut : (Depdagri RI, 2001).
a.         Indikator Input : Jumlah Posyandu yang telah lengkap sarana dan obat-obatnya, jumlah kader yang telah dilatih dan aktif bekerja, jumlah kader yang mendapat akses untuk meningkatkan ekonominya, serta adanya dukungan pembiayaan dari masyarakat setempat, pemerintah dan lembaga donor untuk kegiatan Posyandu.
b.        Indikator Proses : Meningkatnya frekuensi pelatihan kader Posyandu, meningkatnya frekuensi pendampingan dan pembinaan Posyandu, meningkatnya jenis pelayanan yang dapat diberikan, meningkatnya partisipasi masyarakat untuk Posyandu, serta menguatnya kapasitas pemantauan pertumbuhan anak.
c.         Indikator Luaran : Meningkatkan cakupan bayi dan balita yang dilayani, pencapaian cakupan seluruh balita, meningkatnya cakupan ibu hamil dan ibu menyusui yang dilayani, serta meningkatnya cakupan kasus yang dipantau dalam kunjungan rumah.
d.        Indikator dampak (Outcome) : Meningkatnya status gizi balita, berkurangnya jumlah anak yang berat badannya tidak cukup naik, berkurangnya prevalensi penyakit anak (cacingan , diare, ISPA), berkurangnya prevalensi anemia ibu hamil dan ibu menyusui, mantapnya pola pemeliharaan anak secara baik di tingkat keluarga serta mantapnya kesinambungan Posyandu.

H.           Pengertian dan Intervensi Posyandu
Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja puskesmas. Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun, balai kelurahan, RW dan sebagainya disebut dengan Pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di posyandu adalah KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), KB (Keluarga Berencana), P2M (Pemberantasan Penyakit Menular dengan Imunisasi dan penanggulangan diare), dan Gizi (penimbangan balita). Sasaran penduduk yandu adalah ibu hamil, ibu menyusui, pasangan usia subur (PUS), dan balita (Muninjaya, 2004).
Program yandu merupakan strategi jangka panjang untuk menurunkan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate-IMR), angka kelahiran bayi (Birth Rate-BR), dan angka kematian ibu (Maternal Mortality Rate-MMR). Turunnya IMR, BR, dan MMR di suatu wilayah merupakan standar keberhasilan pelaksanaan program terpadu di wilayah tersebut. Untuk mempercepat penurunan IMR, BR, dan MMR tersebut, secara nasional diperlukan tumbuhnya peran serta masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan posyandu karena posyandu adalah milik masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Untuk mengembangkan peran serta masyarakat di posyandu dapat dilakukan dengan penerapan asas-asas manajemen kesehatan. Peningkatan peran serta masyarakat diukur dengan menggunakan analisis cakupan program yandu dibandingkan dengan target kegiatan masing-masing program tersebut (Muninjaya, 2004).
Posyandu adalah suatu wadah komunikasi alih teknologi dalam pelayanan kesehatan masyarakat dari Keluarga Berencana dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan pelayanan serta pembinaan teknis dari petugas kesehatan dan keluarga. berencana yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Yang dimaksud dengan nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini yaitu dalam peningkat mutu manusia masa yang akan datang dan akibat dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia ada 3 intervensi yaitu : (Sembiring, 2004).
1.        Pembinaan kelangsungan hidup anak (Child Survival) yang ditujukan untuk menjaga kelangsungan hidup anak sejak janin dalam kandungan ibu sampai usia balita.
2.        Pembinaan perkembangan anak (Child Development) yang ditujukan untuk membina tumbuh/kembang anak secara sempurna, baik fisik maupun mental sehingga siap menjadi tenaga kerja tangguh.
3.        Pembinaan kemampuan kerja (Employment) yang dimaksud untuk memberikan kesempatan berkarya dan berkreasi dalam pembangunan bangsa dan negara.
Intervensi 1 dan 2 dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat dengan sedikit bantuan dan pengarahan dari petugas penyelenggara dan pengembangan Posyandu merupakan strategi yang tepat untuk intervensi ini. Intervensi ke 3 perlu dipersiapkan dengan memperhatikan aspek-aspek Poleksesbud (Sembiring, 2004).

I.            Pengorganisasian Posyandu
Sebagai unit yang memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan bersifat sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat terutama ibu dan anak, maka organisasi Posyandu sesungguhnya bersifat organisasi fungsional yang dipimpin oleh seorang Pimpinan/Penanggungjawab dan dibantu oleh para pelaksana pelayanan yang terdiri dari kader Posyandu sebanyak 4-5 orang. Agar Posyandu dapat dikelola secara baik, perlu dukungan tenaga dministrasi yang bertugas mengadministrasikan kegiatan Posyandu. emudian dari beberapa Posyandu yang ada di suatu wilayah (Kelurahan/Desa atau dengan sebutan lain) selayaknya dikelola oleh suatu unit/kelompok (nama lain) Pengelola Posyandu yang keanggotaannya dipilih dari kalangan masyarakat setempat. Unit Pengelola Posyandu ini dipimpin oleh seorang Ketua yang dipilih dari para anggota (Depdagri RI, 2001).
Bentuk susunan organisasi Unit Pengelola Posyandu di Desa, ditetapkan melalui kesepakatan dari para anggota Pengelola Posyandu. Tugas dan tanggung jawab masing-masing unsure pada setiap kepengurusan, juga disepakati dalam unit/kelompok Pengelola Posyandu bersama masyarakat setempat. Namun pada hakekatnya susunan kepengurusan itu sifatnya fleksibel, tergantung pada kondisi setempat. Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di desa, unit Pengelola Posyandu mempunyai kewajiban melaporkan keberadaannya kepada Kepala Desa/Lurah. Oleh karena itu, Kepala Desa/Lurah berkewajiban pula untuk membina keberadaan unit Pengelola Posyandu, karena kegiatan Posyandu yang dikelola oleh masyarakat itu pada dasarnya adalah untuk kepentingan pemajuan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) dini di daerahnya, yang berarti sebagai suatu asset di desa (Depdagri RI, 2001).

J.            Tujuan Penyelenggaraan Posyandu
1.         Menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (ibu Hamil, melahirkan dan nifas).
2.         Membudayakan NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera).
3.         Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB, serta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera.
4.         Berfungsi sebagai Wahana Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan Ketahanan Keluarga dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (Sembiring, 2004).

K.                Pelaksanaan Kegiatan Posyandu
a.         Posyandu dilaksanakan sebulan sekali yang ditentukan oleh LKMD, Kader, Tim Penggerak PKK Desa/Kelurahan serta petugas kesehatan dari KB. Pada hari buka Posyandu dilakukan pelayanan masyarakat dengan sistem 5 (lima) meja yaitu :  Meja I : Pendaftaran, Meja II : Penimbangan, Meja III : Pengisian KMS, Meja IV : Penyuluhan perorangan berdasarkan KMS, dan Meja V : Pelayanan KB Kesehatan (Imunisasi, Pemberian vitamin A Dosis Tinggi berupa obat, tetes ke mulut tiap Februari dan Agustus, Pembagian pil atau kondom, Pengobatan ringan dan Kosultasi KB-Kesehatan).
Petugas pada Meja I s/d IV dilaksanakan oleh kader PKK sedangkan Meja V merupakan meja pelayanan paramedis (Jurim, Bindes, perawat dan petugas KB).
b.        Sasaran Posyandu :  Bayi/Balita, Ibu hamil/ibu menyusui, dan WUS dan PUS.
Peserta Posyandu mendapat pelayanan meliputi :
1)        Kesehatan ibu dan anak : Pemberian pil tambah darah (ibu hamil), Pemberian vitamin A dosis tinggi ( bulan vitamin A pada bulan Februarii dan Agustus), PMT, Imunisasi, dan Penimbangan balita rutin perbulan sebagai pemantau kesehatan balita melalui pertambahan berat badan setiap bulan. Keberhasilan program terlihat melalui grafik pada kartu KMS setiap bulan.
2)        Keluarga berencana, pembagian Pil KB dan Kondom.
3)        Pemberian Oralit dan pengobatan.
4)        Penyuluhan kesehatan lingkungan dan penyuluhan pribadi sesuai permasalahan dilaksanakan oleh kader PKK melalui meja IV dengan materi dasar dari KMS alita dan ibu hamil. Keberhasilan Posyandu tergambar melalui cakupan SKDN.
S : Semua baita diwilayah kerja Posyandu.
K : Semua balita yang memiliki KMS.
D : Balita yang ditimbang.
N : Balita yang naik berat badannya.
Keberhasilan Posyandu berdasarkan :
1)  D   Baik/kurangnya peran serta masyarakat.
 S
2)  N    Berhasil tidaknyaProgram posyandu
 D
Petugas pada Meja I s/d IV dilaksanakan oleh Kader PKK sedangkan meja V merupakan meja pelayanan para medis (Jurim, Bindes, Perawat clan Petugas KB)
c.         Dana
Dana pelaksanaan Posyandu berasal dari swadaya masyarakat melalui gotong royong dengan kegiatan jimpitan beras dan hasil potensi desa lainnya serta sumbangan dari donatur yang tidak mengikat yang dihimpunan melalui kegiatan Dana Sehat (Sembiring, 2004).


L         Konsep Tentang Kader
1.                  Pengertian Kader
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kegiatan di Posyandu, dimana anggotanya berasal dari masyarakat, dipilih oleh masyarakata itu sendiri dan bekerjasama secara sukarela. Secara umum istilah kader kesehatan yaitu kaderkader yang dipilih oleh masyarakat tadi menjadi penyelenggara Posyandu. Banyak para ahli mengemukakan mengenai pengertian tentang kader kesehatan antara lain: L. A. Gunawan memberikan batasan tentang kader kesehatan: “kader kesehatan dinamakan juga promotor kesehtan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dari masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat”. Direktorat bina peran serta masyarakat Depkes RI memberikan batasan kader: “Kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela” (Zulkifli, 2003).

2.            Tugas Kader
Tugas kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun kegiatan pokok yang perlu diketahui oleh dokter kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut didalam maupun diluar Posyandu antara lain: (Zulkifli, 2003).
a.         Kegiatan yang dapat dilakukan kader di Posyandu adalah: Melaksanan pendaftaran, melaksanakan penimbangan bayi dan balita, melaksanakan pencatatan hassil penimbangan, memberikan penyuluhan, memberi dan membantu pelayanan, serta merujuk.
b.        Kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar Posyandu KB-kesehatan adalah:
1.         Bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulan diare.
2.         Mengajak ibu-ibu untuk datang para hari kegiatan Posyandu.
3.         Kegiatan yang menunjang upanya kesehatan lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang ada: Pemberantasan penyakit menular, penyehatan rumah, pembersihan sarang nyamuk, pembuangan sampah, penyediaan sarana air bersih, menyediakan sarana jamban keluarga, pembuatan sarana pembuangan air limbah, pemberian pertolongan pertama pada penyakit, P3K, dana sehat, serta kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.
c.         Peranan Kader diluar Posyandu KB-kesehatan:
-       Merencanakan kegiatan, antara lain: menyiapkan dan melaksanakan survei mawas diri, membahas hasil survei, menyajikan dalam MMd, menentukan masalah dan kebutuhan kesehatan masyarakat desa, menentukan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan bersama masyarakat, membahas pembagian tugas menurut jadwal kerja.
-       Melakukan komunikasi, informasi dan motivasi wawan muka (kunjungan), alat peraga dan percontohan.
-       Menggerakkan masyarakat: mendorong masyarakat untuk gotng ronyong, memberikan informasi dan mengadakan kesepakatan kegiatan apa yang akan dilaksanakan dan lain-lain.
-       Memberikan pelayanan yaitu, : Membagi obat, membantu mengumpulkan bahan pemeriksaan, mengawasi pendatang didesanya dan melapor, memberikan pertolongan pemantauan penyakit, memberikan pertolongan pada kecelakaan dan lainnya
-       Melakukan pencatatan, yaitu: KB atau jumlah Pus, jumlah peserta aktif dsb, KIA : jumlah ibu hamil, vitamin A yang dibagikan dan sebagainya, Imunisasi : jumlah imunisasi TT bagi ibu hamil dan jumlah bayi dan balita yang diimunisasikan, Gizi: jumlah bayi yang ada, mempunyai KMS, balita yang ditimbang dan yang naik timbangan, Diare: jumlah oralit yang dibagikan, penderita yang ditemukan dan dirujuk.
-       Melakukan pembinaan mengenai laima program keterpaduan KB-kesehatan dan upanya kesehatan lainnya.
-       Keluarga pembinaan yang untuk masing-masing untuk berjumlah 10-20 KK atau diserahkan dengan kader setempat hal ini dilakukan dengan memberikan informasi tentang upanya kesehatan dilaksanakan.
-       Melakukan kunjungan rumah kepada masyarakat terutama keluarga binaan.
-       Melakukan pertemuan kelompok.


M.         Faktor yang Mempengaruhi Revitalisasi Posyandu
1.                 Pelatihan
Pelatihan adalah suatu upaya kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan teknis dan dedikasi kader posyandu. Memperluas sitem posyandu dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan di hari buka dan kunjungan rumah. Serta menciptakan iklim kondusif untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan pemenuhan sarana, prasarana, pelaporan dan pendaptaan kerja posyandu (Nilawati, 2008).
Pelatihan kader bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sekaligus dedikasi kader agar timbul kepercayaan diri untuk dapat melaksanakan tugas sebagai kader dalam melayani masyarakat, baik di Posyandu maupun saat melakukan kunjungan rumah. Materi dalam pelatihan kader dititik beratkan pada ketrampilan teknis menyusun rencana kerja kegiatan di Posyandu, cara menghitung kelompok sasaran yang menjadi tanggung jawab Posyandu, cara menimbang, menilai pertumbuhan anak, cara menyiapkan kegiatan pelayanan sesuai kebutuhan anak dan ibu, menyiapkan peragaan cara pemberian makanan pendamping ASI dan PMT untuk anak yang pertumbuhannya tidak cukup sebagaimana pertambahan umurnya dan anak yang berat badannya tidak naik, memantau perkembangan ibu hamil dan ibu menyusui, dan sebagainya (Depdagri RI, 2001).
Agar pelatihan kader dapat berjalan efektif, maka diperlukan unsure pelatih kader yang mampu dan berdedikasi dalam memberikan materi pelatihan secara efektif dan berkesinambungan, yakni melalui pendampingan dan bimbingan. Pelatihan kader diberikan secara berkelanjutan berupa pelatihan dasar dan berjenjang yang berpedoman pada modul pelatihan kader (Depdagri RI, 2001).

2.                           Dukungan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan di posyandu oleh masyarakat sangat ditentukan oleh peran kader sebagai motor penggerak yang mendapatkan dukungan dari tokoh masyarakat (TOMA) dan petugas kesehatan. Hal tersebut dikarenakan salah satu tugas utama kader adalah menggerakkan masyarakat untuk datang ke posyandu. Dukungan tokoh masyarakat (kepala desa) kepada kader posyandu sangat penting, hal ini disebabkan karena tokoh masyarakat tersebut merupakan tokoh yang paling disegani dan yang paling berpengaruh di wilayah tersebut. Dukungan dan anjuran dari tokoh masyarakat merupakan salah satu bentuk motivasi dan semangat bagi kader posyandu dalam menjalankan tugasnya dalam kegiatan posyandu (Sucipto, 2009).
Peran puskesmas atau petugas kesehatan dalam kegiatan posyandu adalah sebagai fasilitator dan lebih memberdayakan masyarakat dalam kegiatan posyandu. Kegiatan posyandu dikatakan meningkat jika peran serta masyarakat semakin tinggi yang terwujud dalam cakupan program kesehatan seperti penimbangan, pemantauan tumbuh kembang balita, imunisasi, pemeriksaan ibu hamil, dan KB yang meningkat. Bentuk dukungan yang diberikan oleh petugas kesehatan terhadap kegiatan posyandu adalah : (Sucipto, 2009).
1)        Dukungan petugas kesehatan terhadap pelaksanaan posyandu
a.    Memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat.
b.    Memberikan imunisasi pada bayi, dan wus.
c.    Menyediakan mobil ambulan untuk merujuk pasien.
d.   Menyediakan leafled atau buku untuk materi penyuluhan kesehatan.
e.    Membantu membuat rencana tindak lanjut kegiatan posyandu.
2)        Dukungan petugas kesehatan terhadap individu kader posyandu.
a.    Selalu datang tepat waktu.
b.    Pemberian pelatihan kepada kader posyandu.
c.    Pemberian pengobatan rawat jalan gratis di posyandu kepada kader posyandu dan keluarganya.
d.   Pemberian seragam.
Sebagai unit pelayanan yang berbasis masyarakat, Posyandu perlu mendapat dukungan luas dari masyarakat melalui peran sertanya agar kegiatan Posyandu dapat berkelanjutan dan jangkauannya meluas sesuai kebutuhan kelompok sasaran yang dilayaninya. Peningkatan peran serta masyarakat untuk mendukung kegiatan Posyandu dapat dilakukan melalui : (Depdagri RI, 2001).
1.        Pembentukan suatu lembaga atau unit pengelola Posyandu didesa yang anggotanya dipilih dari masyarakat, dengan tugas untuk mengelola secara professional penyelenggaraan Posyandu, termasuk memperhatikan masalah ketenagaan, sarana dan pembiayaan bagi kelangsungan Posyandu yang bersumber dari masyarakat.
2.        Pemberian penghargaan kepada kader berupa dana hibah atau pinjaman modal usaha bagi kader yang kinerjanya baik sebagai suatu perangsang agar terus tekun dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dimasukan pula sebagai upaya pemberdayaan ekonomi kader.
3.        Pemberian bantuan pembiayaan untuk penyelenggaraan Posyandu yang bersumber dari dana masyarakat, seperti zakat dan sumbangan keagamaan yang sejenis, maupun pemberian bantuan sarana dasar untuk pelaksanaan fungsi pokok Posyandu.
4.        Pemberian bimbingan dalam rangka pengelolaan Posyandu maupun kegiatan langsung berupa pelayanan seperti konseling dan rujukan yang dapat meningkatkan mutu Posyandu secara menyeluruh.
5.        Kemitraan yang dapat diwujudkan dengan cara membentuk dan memperkuat jejaring antar dan atau beberapa Posyandu yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi kemasyarakatan, baik yang berada dalam satu desa atau sebutan lain, ataupun pada wilayah yang lebih luas. Dalam kemitraan, inti kegiatannya dapat berupa pelayanan langsung maupun bentuk lainnya yang berkaitan dengan peningkatan fungsi Posyandu, seperti pelatihan, orientasi, temu kerja, temu konsultasi, sarasehan, supervisi, dan evaluasi serta penggerakan peran serta masyarakat agar memperhatikan Posyandu sebagai unit pelayanan yang membantu keluarga dalam pengembangan kualitas
generasi masa depan.

3.                 Struktur
Struktur adalah merupakan suatu titik organisasi posyandu untuk mengendalikan atau membedakan bagian yang satu dengan bagian yang lain, kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain yang akan memudahkan organisasi dalam mengendalikan perilaku para karyawan/petani. Artinya para pegawai tidak mampu membuatn pilihan yang mutlak dan bebas dalam melakukan sesuatu pekerjaan dan cara mengerjakannya. Struktur juga sangat mempengaruhi perilaku dan fungsi kegiatan di dalam organisasi. Untuk dapat menciptakan efektivitas dan efisiensi organisasi diperlukan keputusan yang sarat dengan mendesain struktur organisasi, isi dari keputusan sangat penting dipusatkan kepada pekerjaan individu bagaimana membagi tugas secara menyeluruh menjadi tugas yang lebih kecil secara berurutan, dan bagaimana membagi wewenang kepada pekerjaan (Nilawati, 2008).
Untuk mendukung kegiatan Posyandu sebagai wahana yang memberi pelayanan dalam pemenuhan kebuthan dasar pengembangan kualitas manusia dini, perlu dibentuk institusi Pembina Posyandu yang berfungsi memfasilitasi, membina, memantau dan mengevaluasi kegiatan Posyandu sesuai kebutuhan. Institusi tersebut mempunyai struktur seperti Pokjanal Posyandu yang berada di Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat. Bila Pokjanal Posyandu di daerah masih berfungsi, maka diharapkan dapat memanfaatkan keberadaan organisasi tersebut sebagai institusi Pembina Posyandu yang keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil dinas/instansi/lembaga terkait dan organisasi kemasyarakatan yang memiliki kepedulian terhadap kegiatan pelayanan masyarakat di Posyandu (Depdagri RI, 2001).
Dalam melaksanakan tugasnya, institusi Pembina Posyandu tersebut dipimpin oleh seorang Ketua, yang dibantu oleh beberapa anggota yang mewakili instansi-instansi dan unsur yang terlibat dalam Posyandu. Susunan organisasi institusi Pembina Posyandu ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Namun dengan tidak bermaksud untuk menyeragamkan bentuk susunan organisasi dan tata kerja institusi Pembina Posyandu, seyogyanya untuk mencegah kerancuan perlu ada uraian peran masing-masing unsure dinas/instansi/lembaga yang terkait dalam pembinaan Posyandu, misalnya : (Depdagri RI, 2001).
-            Dinas/Badan/Kantor PMD/Bina Pemberdayaan Masyarakat : berperan dalam fungsi koordinasi penyelenggaraan pembinaan, penggerakan dan pengembangan masyarakat, pengembangan metode pendampingan masyarakat, teknis advokasi, dan sebagainya.
-            Dinas Kesehatan :berperan dalam membantu pemenuhan pelayanan sarana dan prasarana kesehatan (pengadaan alat timbangan, distribusi KMS, distribusi obat-obatan dan vitamin) serta dukungan bimbingan tenaga teknis kesehatan.
-            BKKBN/PLKB : berperan dalam pelayanan kontrasepsi, penyuluhan, penggerakan peran serta masyarakat, dan sebagainya.
-            BAPPEDA : berperan dalam perencanaan umum dan evaluasi.
-            TP-PKK : berperan dalam pendayagunaan Kader, motivasi masyarakat, penyuluhan dan bimbingan teknis, dan sebagainya.
-            Dinas Pendidikan, LSM dan sebagainya : berperan dalam mendukung teknis operasional Posyandu.
Tugas dan fungsi institusi Pembina Posyandu secara keseluruhan ialah mendukung kelangsungan Posyandu sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat, khususnya dari kelmpok paling rentan Ibu dan Anak. Secara Nasional, kelembagaan sejenis yang berperan dalam mengkoordinasikan kegiatan lintas sector dan lintas program yang mendukung kegiatan Posyandu tetap diperlukan. Fungsi tersebut pada hakekatnya dapat dilakukan oleh Pokjanal Posyandu yang selama ini melaksanakan fasilitasi, pembinaan dan pemantauan, serta evaluasi kegiatan Revitalisasi Posyandu, dan jika masih dianggap relevan keberadaannya dapat dimanfaatkan atau mebuat Kelompok Kerja baru sesuai dengan kondisi daerah (Depdagri RI, 2001).



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu, Direktur Bina Gizi Masyarakat Depkes dan Kesos, Jakarta, 2001.
Departemen Kesehatan RI, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 2008.
Dinas Kesehatan Provinsi NAD, Profil Kesehatan Provinsi NAD Tahun 2008 data 2007, Kota Banda Aceh, 2008.
Kresno, Sudarti, Metodologi Penelitian Kualitatif: Laporan Penelitian Study Pemanfaatan Posyandu di Kel. Cipinang Muara Kec. Jatinegara Kodya Jakarta Timur; Tahun 2007, Program Magister – PKIP FKM UI, 2008.
Muninjaya, A. A. Gde, Manajemen Kesehatan Edisi 2, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004.
Nilawati, Pengaruh Karakteristik Kader dan Strategi Revitalisasi Posyandu terhadap Keaktifan Kader di Kecamatan Samadua Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2008, Tesis, Sekolah Pascasarjana USU, Medan, 2008.
Ridwan dkk, Revitalisasi Posyandu Pengaruhnya terhadap Kinerja Posyandu di Kabupaten Tenggamus, Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (KMPK), Universitas Gadjah Mada, Working Paper Series No.16 Juli 2007.
Sembiring, Nasap, Posyandu Sebagai Saran Peran Serta Masyarakat dalam Usaha Peningkatan Kesehatan Masyarakat, Bagian Kependudukan dan Biostatistik, FKM Universitas Sumatera Utara, 2004.
Sucipto, Edy, Berbagai Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Kader Posyandu dalam Penimbangan Balita dan Cakupan D/S di Posyandu di Wilayah Puskesmas Geyer II Kabupaten Grobogan, Tesis, Program Studi Magister Promosi Kesehatan, Universitas Diponegoro Semarang, 2009.
Torik, Peranan Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat (Studi Kasus di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang), Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitang Negeri Semarang, 2005.
Widiastuti, Atin, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Kader dalam Kegiatan Posyandu di Kelurahan Gubug Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan Tahun 2006, Skripsi, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Semarang, 2007.
Zulkifli, Posyandu dan Kader Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, 2003.


By : Fadli Syahputra, SKM